Rabu, 06 Juli 2011

DAFTAR JUDUL PUISI “PIALA DEWAN KESENIAN KABUPATEN TEHAL” LOMBA BACA PUISI KREATIF TINGKAT UMUM SE-JAWA TENGAH TAHUN 2011

Puisi Babak Penyisihan :

Lelaki Kecapi Dan Istri
DIAH SETYOWATI

Lelaki kumal berparit mata, kujumpai di pinggir kota
mainkan kecapi bersama istri
pernah menjadi gerilyawan semasa revolusi
dua anaknya, keduluan mati
barangkali lantaran perut belum terisi
sanitasi kurang memadai

Lelaki itu terpaku di hadapan
usai memeragakan jemari lentiknya memetik dawai-dawai
sembari mengiringi istri melantunkan megatruh
atau asmarandana, sesekali melirik menatap penuh selidik
katanya : “Wajahmu ngger mirip putriku kang wis kapundhut”

Ada mendung menggantung pada sudut mata
ibu mana yang membendung luapan rindu membatu
kerinduan itu selaksa merenangi samudra
mengadili kubur bathinku tanpa suara maupun warna

Lelaki kumal berparit mata menyandang kecapi
bersama istri tercinta kemarin ku, sua disamping lampu merah
perempatan kota. layu dan kusam saksikan dadu memutar alam
nasib telah main petak umpet di balik kaos kakinya
yang busuk dan bolong

Adalah lelaki bijak pemilik rumah rindu
kini sering bertandang padaku
menghadiahkan lagu biru dengan suara kecapinya yang mendayu
kami saling memandang perjuangan lalu, cah ayu
tidaklah sewangi nasi jagung sedap tercium dari dapur biung
ibu yang tidak lagi muda itu tiba-tiba
suntingkan melati di telingaku tergagap lugu berkata
“Kula tresna kalih sliramu” cah ayu
bunga-bunga dalam kabut kesepianku berguguran seketika
daunnya melambai hingga jendela surga

2008



Perempuan Dengan Belati di Betisnya
NUROCHMAN SUDIBYO YS
Perempuan dan belati di mulutnya, seperti memberi tanda ada dua nyawa telah rebah. Tut tut hend phond terdengar bingar seperti detak jatungmu yang terus berdebar

Mengarang derita dari rangkaian suara ibunya. Terus berkata-kata. Tubuhmu limbung serasa dibuai debur ombak pantura yang mengganas dan suara perkusi jalanan bertalutalu. Semua nada mencatat di kertas biru. Kau buat pusara kuburmu perempuan itu meremah darah, berambut merah, bergaun merah, bergurat amarah yang menuturkan permainan angin dan elusan lembut di jelitamu. Perempuan dan mata pedesaan yang memimpikan kota juga seribu katakata berwacana tua. Selalu masih ada shampoo yang dikeramaskan di kepalamu. Rambut perempuan itu berderai menghujani imajinasiku. Lalu aku berhayal tentang kerapuhan desa membaca kota. Tak lagi kubiarkan tarian gemulai anak-anak perawan menghias bunga di selipan telingamu yang seksi.

O, perempuan dengan belati di betisnya. Jangan takut mawar hancur berdebu. Karena aku yang termangu di hadapan mu. Sudi mencabut belati dengan seribu puisi yang tersisih ini. Ulurkan tanganmu, mari kita sepakati, menandatangani prasasti Pangikat Serat Kawindra ini.

10.




Untuk Kesabaran
Diah Setyawati

Ketika dengung kilau mata pisau
menghujam risau
pada hatimu yang ibu, mengabu
birunya hampir tak tersisa
jika telah bosan dengan warna kelam

Tabuh sekali saja genta
dilogam emosi, sebagai irama pasti
untuk loncat dari jerat yang memenjara
lihat disana tangan-Nya
melambai dari jendela surga
sesungguhya Ia janjikan
cinta yang melebih, tanpa pilih – pilih

Diam – diamlah dalam kelangkanganku; lelaki
siapa gerangan menjelma – kupu liar
membakar api cemburu, bikin rabu matamu

Burung bul – bul yang menjaga pintu rahimku
berubah sudah menjadi sekawanan unggas
meranggas tuntas, nafas cintaku lepas

Kubaca sisa luka di wajah sendiri
pada peta yang misteri, kelamin yang asing
matamu bukan lagi sampan atau kemudi

Berjalanlah menuju kebenaran; wahai kesabaran
bukanlah penderitaan dan kemiskinan
menyucikan hati manusia
meski pikiran kita yang lemah
tak melihat sesuatupun yang berharga
kecuali kemudahan dan kebahagiaan.

2009




Sinergi Wangi
Seteguk Teh Slawi

NUROCHMAN SUDIBYO YS

Berbulan kukendarai angin, bergelut dengan rasa dingin. Gairah di dadamu berbisik lembut, telingamu memerah saat matahari pulang, lalu pergi lagi. Pagi dini hari jalanan Slawi mengusir sepi embun. Batu-batu melepas debu jalanan. Di antara pekerja berseragam, datang bersepeda dengan aroma segar. Dari arah Kota Tegal aku terpental, jiwaku mengental di cangkir tembikar yang melingkari di poci merah. Dengan sebungkus teh wangi dan air mendidih berhenti di situ, dua gadis dengan kerlingan mata, bercengkerama memulai hari dengan aroma teh sepanjang hari. Sembari memaknai kemana jatuh, dibiarkan ujung rambutnya terjuntai di bahu. Aku mengenalinya satu-satu sambil lalu, pertama sekali di saat ia mulai memetik daun teh. Udara dingin berganti memanas, sorenya saat turun hujan, kulihat telinganya mawar, matanya ketumbar, alisnya tersimbar, harum melati kesuma hati. O, slawi wangi. Tak ada yang mesti di interupsi

Sejak perkenalan di ujung perbatasan desa, di arah selatan itu berkali kutulis puisi. Selalu kukenang matamu yang terang, dan harum tubuhmu. Setiap kali pula kuteguk minuman. Ingat selalu kembali Slawi. Seperti saat mengingat tubuhmu yang seksi. Telah bercangkir-cangkir teh teramu rasa manis gula batu dan aroma tubuhmu. Selalu menawarkan kembali kuteguk, dan selanjutya tak hendak membuatku mabuk sampai terkantuk-kantuk atau harus batuk-batuk memaknai cinta, atas seteguk teh slawi wangi yang suntuk.

10.






Tuhan, Sesungguhnya Akulah Malu Itu
Diah Setyawati

Pada setiap ritme pertemuan
sesungguhnya akulah malu itu
lantaran pasti masih kau simpan kartu namaku
lengkap dengan segala catatan hitam putih
sedang selama ini hati
bagai kuda sembrani
tak terhitung selusin hati tersakiti
ah tersipulah!
tangan yang kotor harus dibasuh
dengan sesal tobat dan sujud sungguh
dari tubuh hingga ruh

ya Rahman, ya Rahim, ya Muhaimin
ajari lidah dan hati se-iya dalam berkata
kompak dan khusuk menyebut asmaMu
sampai gempa, gempar di dalam hati
agar jadi muara tempat berpijak kata bijak
jadi bengawan;
laut gelora
dalam dzikir
Allah, Allah, Allah
pada setiap ritme pertemuan
aku datang memburu rindu cahayaMu
jangan pernah berlalu
kalaulah bunga fasih mengungkap bahasa cinta
tentulah hari bisa melebihinya
maka dengan cinta
untukMu kuletakkan tahta yang paling
mengenyamping dari segala yang nyanding
ya Rabbi,
patrikan kesetiaan pada setiap dinding
nurani tanpa banding
pada setiap ritme pertemuan
biarlah malu itu bersamaku
agar aku merasa menjadi manusia
yang tak sia – sia
Tuhan ……………….
sesungguhnya, akulah malu itu!

Tegal Okt’ 2009




Seorang Ibu
di Kepala Anak Gadisnya

NUROCHMAN SUDIBYO YS

Seorang ibu di kepala anak gadisnya
menaruh wajah di bara merah
duduk tersipu, airmata mencipta
energi segala satu. Isi kepalanya ingin tahu semua
pergi menuai mimpi ke massa perang yang akan datang

Seorang ibu mencoba mengatur cara berjalan
anak-anaknya. Diajak menuntun seekor angsa
diajar menjahit sobekan kain perca
menulis menu dan seluruh daftar rencana
program asa teragenda disetiap acara
menyusun botol-botol bekas anggaran belanja

Seorang ibu mengajak anaknya bercermin
mengatur panjang pendek rambutnya
memotong ujung kuku jemarinya
mengerik jalur-jalur nafas di kulit punggung
menghitung sampai kapan hidup harus bergantung.

08-10









Pesan Rakyat Kepada Wakil Rakyat
--andai rakyat itu setingkat ibu

Diah Setyawati

Oo…….
andai pesan rakyat itu setingkat ibu
yang selalu mengharu biru melepas,pergimu
dalam belantara waktu
memberi pesan dan kaidah hidup
agar hati redup mata tak kuyup
mestinya kau akan sanggup mengukup
bahasa kalbu itu; yang juga mewakili sekian lidah mereka
lalu menjaganya dari kutuknya

Seperti anak-anaknya, yang menangis jika kelam
bulan, bulan terangi jalannya menuju wajah ibu
agar tak sasar jadi batu
sebab hakekatnya rakyat setingkat ibu

Ibu atau perempuan sangatlah mahir
menakuti anak-anaknya
ia pahat batu serupa dirimu
ia buat perahu, lengkap dengan baju kesahajaan
lewat harapan meniupkan doa
menjaga mata tasbih, mengusungnya sampai ke muara
kursi telah terangkat bawa amanat dan aspirasi rakyat
untuk kemudian meneruskannya ke yang lebih tinggi lagi
sebelum mendudukiingatlah akan kursi Yang Maha Kursi

Kursi Illahi……..
agar kau tak lupa

cidra ing janji, ingkar akan ikrar
hingga tak mengirim banjir
laut tak menghanyutkan segala
dan kau tak pernah sesal
sembari berkata, ibu izinkan pulang kerahimmu
sebab takut gigil dan lapar menelan kutukmu.

2009


Seteguk Teh Berhenti Menulis Nasib
NUROCHMAN SUDIBYO YS

Jangan katakan kemana langkah terhenti, anakku
selagi jalan-jalan masih melambaikan kata ‘berhenti’
mari nikmati seteguk teh dan lanjutkan tawar menawar
bicara soal pribadi. Kerja keras tak berbatas
tiap hari menghitung gedung, kantor polisi
dan asuransi, menyimpan kartu kredit untuk kita
kantungi dosa bersama itu. Jadikan kawan
tanpa melawan, sebab perjuangan belum ada
kata sepakat

Tunggu waktu. Akan kutumbangkan semua harimu
di akhir lembar almanak yang kusobek
sebagai catatan, bagi neraca kehidupan kita
sesudah salam mengahiri perbincangan.

96.








Puisi Babak Final :

“Aubade” Buat Buah Tubuhku
Diah Setyawati

Memandangmu dalam bilangan satu dua tiga usia
adalah debar, yang selalu memancar
lentera atau mercusuar
di kegelapan.
kasihku bukan sedepa cuma;
sampai rahasia tiba

Angin telah menerbangkan setanggi wangi mimpiku
dari rumah cinta kembali ke rumah cinta
kalaulah genggam tangan telah terlepas
bukan berarti impas
percakapan yang melelahkan tentang harapan
senantiasa sertakan pada Tuhan
jika kini kepak sayapnu tak seperkasa
lantaran luka kau buat sendiri
atas segala bengal; kurang nestiti
mari kubalut lembut dengan selendang jiwa beruntai doa
tunduk sejenak “sowan” ke Yang Maha Ada.
juru sembuh ampuh
segera basuh

Memendangmu dalam bilangan satu dua tiga usia
diantara perjalanan mewaktu
adalah kodrati yang tak bisa dipungkiri
sementara senjaku nanti
biar terisi riuh remahnya kenangan
sambil terus memandang dan memandang
sebelum temaram ;
pulang ke rumah menimbun kesah ;
buah tubuhku
kutunggu ;
kolam jernih ada di sini.

2009.



Lagu Serunai Padi
NUROCHMAN SUDIBYO YS

Sulit mengerti betapa berat menahan airmata
yang meluncur dari bola matamu
meski telah kubentangkan jarak untuk tak terlampau jauh
rinduku terkapar begitu saja tanpa raga
milir udara laut menampar hamparan padi
lekuk gemulainya tontonkan kulitnya keemasan
malai padi pun kini bawa aroma gelisah cinta
harapan terpendam tumbuh dalam lumpur kesuburan
Sampai embun malam menggeriap seperti tirai
yang kasmaran. Disentuh ujung jemarimu
membatas jarak di perahu sujudku. Lalu airmata
ini pantaskah kususur dalam sembahyang panjangku
sedang gairah telah kurunut menuju sepi mihrabmu
bahkan bulu romaku tak terasa berdiri
di lautan tanpa canda

Inilah syair misteri itu. lantunan hidup yang tak terarah
singgasana sepi bersemayamkan lumut
dan noktah hijau. Sampai kesejukan mengurungku
dalam kamar ketidakpastian
gerimis telah menandai usai siaran di televisi
meninggalkan suarasuara yang memekak telinga
juga senyumanmu ikut berlari begitu datang rasa rindu
mengibarkan doadoa bagi kesabaranmu.

93.




Aku Terus Bermimpi Tentang Negeri Ini
Diah Setyawati

Katanya negeriku gemah ripah loh jinawi
kenapa, penghuninya kurang manusiawi
apalagi jika menyangkut soal rejeki
ah sungguh keji ! gitzu loh !
korupsi bagai bunga kuncup mekar susah layunya

Mimpiku tentang negeri ini adalah negeri cahaya
yang menerangi segala kebebalan dan kegagalan
dalam menyelesaikan tetek bengek persoalan
dari isi perut ; rekening listrik ; sekolah anak-anak
hingga biaya berobat yang bikin tobat

Dunia politik penuh intrik
janji-janji palsu di mimbar-mimbar yang memabukkan
tentang keadilan dan kesejahteraan
tapi kenapa orang-orang banyak lari keluar negeri
jadi babu di negeri sebrang
yang bisa diperlakukan sembarang
sebagai pelacur dan budak-budak
yang tenaganya diperas seperti sapi perah
tidakkah kalian marah, sedikit peduli
tapi toh terjadi berulang kali
sesungguhnya sangatlah sederhana keinginan orang-orang kecil
yang sering diangkut kedalam arus besar
perbaikan nasib, sementara mereka cukup ngemut driji
entah sampai kapan segala keinginan berbiji

Jambrut khatulistiwa semakin semrawut
bersiaplah untuk ngelus dada bersama bagi persada
kejahatan, kekerasan ada di mana-mana
mereka cenderung anarkis, bengis n sadis
maka terpaksa kitapun latah menyumpah : bangsat !
aku terus bermimpi tentang negeri ini jadi cahayanya bangsa
cahayanya nurani, agar tahu diri tak lepas kendali
ramah penduduknya, manis pekertinya
sebab akan kutitipkan anak cucuku, disetebah bumi ini
aku terus bermimpi
dan bermimpi tentang negeri ini
bukan Cuma negeri khayalan.

2009


Song For Solitude
NUROCHMAN SUDIBYO YS

Usai pesta kebun, daun-daun rontok rimbun menepis belantara embun. Hingga halimun tersikap, matahari pun bersedekap, tak henti menyerap pori-pori bumi. Mengguris jejak gemulai perempuan, menari sembari berlari di antara desa-desa berjalan. Meniti ke puncak pendakian, hingga lampaui jalanan berlumpur. Tarian lulur tanah berkubang. Ladang pencerahanmu gadis kemayu. Di gubuk ijuk, tegalan berumput, kau olah cinta jadi bantalan kereta, hingga tanah membekas tapak kerbau. Di bajak taburan pupuk, lalat dan kotoran. Aku suka bau tanah sawahmu. Jerami membusuk juga asap batang padi yang sangar terbakar. Menyatu dengan kearifan suaramu, meliuk seksi. Seperti ani-ani yang tak henti menyulutkan asmara di lumbung membara. Serasa mempertemukan bapak Adam dan ibu Hawa melepas kesadaran. Sampai aku lunglai di puncak peribadatan. Gelinjang elok tarian serasa bahasa sunyi, didera nafas panjang yang tak juga berhenti bernyanyi. Ingin rasanya segera merubahmu jadi bermilyar cahaya, agar ikut gemerlapan seperti jalan-jalan. Kau layari dengan taburan selendang dan sepasang kembar mayang. Bertautnya hati dipenuhi warna-warni tembang sanubari. Kembali kubalut tubuhmu dengan bermilyar warna. Sedang aku melilitkan diri dalam kanvas duniamu, sembari terus berputar-putar menyatu di keheningan batu-batu bisu.

10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar